Konservasi Jati Muna untuk Peningkatan Produksi
Hutan merupakan luasan terbesar di Kabupaten Muna. Berdasarkan data badan pusat statistik (BPS) Kabupaten Muna, luasan hutan di Muna seluas 108.381 hektar. Atau 36,56 persen dari total luas Kabupaten Muna yaitu 294.406 hektar. Dengan rincian hutan produksi biasa (HPB) seluas 33.391 hektar (30,81 persen), hutan produksi terbatas (HPT) 2.095 hektar (1,93 persen), hutan lindung 32.406 hektar (29,90 persen), hutan wisata 9.380 hektar (8,65 persen) dan hutan produksi 31.109 hektar (28,70 persen).
Dari data tersebut terlihat produksi hasil hutan tahun 2007 meliputi kayu jati logs, konservasi, rimba log, rimba konservasi, rotan, kulit kayu dan tunggak jati rata-rata mengalami peningkatan dibanding tahun 2006, kecuali produksi kayu jati log menurun sebesar 16,62 persen dengan produksi 2006 sebesar 12.861,99 meter bujur sangkar, sedangkan 2007 10.724,70 hektar per bujur sangkar. Penurunan kembali terjadi pada 2008, parahnya hasil hutan yang paling banyak dihasilkan adalah tunggak jati.
Sebagai daerah yang berpotensi terhadap pertumbuhan jati berkualitas, Muna telah tersohor hingga keluar negeri sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Melihat fenomena maraknya perambahan hutan jati sejak tahun 2000- an, sudah saatnya masyarakat Munamelakukan penanaman jati di tanah milik. Sebagaimana yang telah dilakukan warga di Kecamatan Parigi, yang tergabung dalam petani hutan jati milik (PHJM) dalam wadah Kelompok Wuna Lestari.
Sebagai langkah kepedulian tim Kecil Program Multimedia, yang terdiri dari LSM / NGO pemerhati lingkungan beserta media massa maka pada Kamis (5/8), dilaksanakan Round Table Discussion (RTD) bertemakan mendukung terwujudnya jati sebagai komoditi unggulan Sultra. Bertempat di ruang Senat Fakultas Pertanian (Faperta) Unhalu.
Dalam pemaparannya di depan para peserta RTD, Dosen Jurusan Kehutanan Unhalu (Faisal Danu) membeberkan hasil journalist tripnya (JT), yang mana kondisi hutan jati dalam hutan negara sangat memprihatinkan. Selain itu terjadi perilaku yang kontras antara masyarakat dan Pemda. Pasalnya kesadaran masyarakat untuk terus membudidayakan jati di tanah milik telah tumbuh,sedagkan komitmen Pemda terhadap pengembangan jati masih sangat rendah. “Karena itu melalui RTD ini kami mengharapkan agar terdapat rumusan arah kebijakan Pemda, lahirnya inisiatif bersama setiap stakeholder untuk menyusun road map pengembangan jati. Serta adanya skema pengelolaan dan pemanfaatan jati di tanah milik maupun tanah negara,” beber Faisal Danu.
“Karena itu melalui RTD ini kami mengharapkan agar terdapat rumusan arah kebijakan Pemda, lahirnya inisiatif bersama setiap stakeholder untuk menyusun road map pengembangan jati. Serta adanya skema pengelolaan dan pemanfaatan jati di tanah milik maupun tanah negara,” beber Faisal Danu.
Sementara itu Kadishut Sultra, Amal Jaya dalam sharing informasinya menuturkan berdasarkan SK Menhut luas hutan di Sultra seluas 2.600.137 hektar. Tetapi hasil paduserasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) substansi kehutanan menjadi 2.497.293 hektar. Adapun permasalahan kehutanan di Sultra meliputi deforestasi, degradasi yang meliputi lahan kristis 1.270.120,40 hektar (48,84 persen) sehingga menyebabkan terjadinya banjir, perambahan, perkebunan, pertambangan, pemekaran, transmigrasi dan klaim masyarakat serta terjadinya illegal logging.
“Data penanaman jati se-Sultra sejak 1911-2004 seluas 40.322,09 hektar, dengan obyek pengembangan jati masingmasing di Muna, Buton dan Konsel. Beberapa program yang telah dilaksanakan meliputi reboisasi, HTR, GN RHL dan penegakkan aturan,”rincinya.
Dari segi bibit jati yang tersalur dirincinya masing-masig 50 ribu bibit pada 2007 dan 2008, serta lebih dari satu juta bibit pada 2009. Guna menunjang pengelolaan jati, pihaknya juga telah melakukan kerja sama dengan Balai Penelitian Kehutanan Makassar dan Unhalu.
Sementara itu Mantan Dekan Faperta Unhalu yang pernah melakukan penelitian jati, Hj Husna mengungkapkan dirinya telah melakukan penelitian tentang pengembangan jati di Sultra. Bahkan dirinya dengan tegas menolak rencana pengembangan jati super di Muna, yang pada saat itu digembargemborkan jika jati Muna boros air sehingga dapat menyebabkan Muna krisis air, selain pertumbuhannya lebih lambat dibanding jati super.
“Dalam penelitian saya tentang bagaimana pengelolaan jati Muna, salah satu metode yang ditawarkan yaitu dengan silvikultur insentif, baik secara in situ maupun eks situ. Tentunya dengan terlebih dahulu meningkatkan penguasaan budidaya, pasalnya penguasaan budidaya masyarakat masih rendah,” ungkapnya.
“Dalam penelitian saya tentang bagaimana pengelolaan jati Muna, salah satu metode yang ditawarkan yaitu dengan silvikultur insentif, baik secara in situ maupun eks situ. Tentunya dengan terlebih dahulu meningkatkan penguasaan budidaya, pasalnya penguasaan budidaya masyarakat masih rendah,” ungkapnya.
Selain penguasaan budidaya masyarakat yang masih rendah, dosen kehutanan ini juga mengatakan inventarisasi tegakkan hutan juga belum lengkap, sehingga data jati Sultra belum akurat. Disamping nilai ekonomi tegakkan hutan, pemetaan luasaan hutan, pola tanam, pengembangan hutan jati berbasis masyarakat serta tata niaga kayu jati yang masih perlu peningkatan dan kejelasan regulasi. “Mengingat terdapat keberhasilan pengelolaan jati di Konawe Selatan (Konsel), alangkah bijaknya masyarakat Muna dapat sharing pengalaman dengan petani jati Konsel. Termasuk pemanfaatan pucuk jati, yang di Muna sebagian besar tidak termanfaatkan bahkan menjadi limbah,” sarannya.
Mendengar penjelasan dari Dishut dan dosen Faperta Unhalu. Dosen Kehutanan Unhalu, Nur Arafah menduga jika problem kegagalan kebijakan jati karena kelembagaan . Misalnya di Dishut, meskipun terdapat bidang konservasi juga terdapat bidang produksi yang tupoksinya bertentangan. Belum lagi jika ditambah dengan instansi teknis terkait. “Parahnya hal ini semakin diperparah dengan tidak konsistennya pihak terkait menjalankan aturan, serta kegagalan pasar masyarakat. Bagaimana pun besarnya perolehan PAD dari jati, tetapi tetap tidak sebanding dengan biaya pemulihan hutan,” kata Nur Arafah.
Senada dengan itu perwakilan WWF Indonesia Kendari, Abdul Saban mengungkapkan sebenarnya tidak ada kendala berarti bagi pemerintah dalam menanam jati sebagai komoditi unggulan. Mengingat masyarakat secara swadaya telah dapat menanam jati. “Menurut saya kegagalan dalam program-program pemerintah lebih kepada kebijakan dan kelembagaan, yang entah karena adanya beberapa kepentingan atau lainnya. Tidak heran jika kebijakan kehutanan yang dikeluarkan belum menyentuh hal-hal yang dibutuhkan masyarakat, sehingga perlu adanya evaluasi kebijakan berdasarkan kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.
“Menurut saya kegagalan dalam program-program pemerintah lebih kepada kebijakan dan kelembagaan, yang entah karena adanya beberapa kepentingan atau lainnya. Tidak heran jika kebijakan kehutanan yang dikeluarkan belum menyentuh hal-hal yang dibutuhkan masyarakat, sehingga perlu adanya evaluasi kebijakan berdasarkan kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.
Dari sharing informasi pada RTD tersebut diperoleh rekomendasi antara lain, perlu adanya kebijakan kawasan dalam bentuk kesatuan pengolahan hutan (KPH), yang didalamnya terdapat hutan tanaman rakyat (HTR) dengan berbasis kemitraan dan partisipasi masyarakat. Perlunya fasilitasi penyediaan bibit pada HTR, tentunya dengan adanya kejasama antara Dishut Sultra dengan Jurusan Kehutanan Faperta Unhalu. Sehingga otomatis harus dipersiapkan lahan pada suatu wilayah kabupaten, sebagai lokasi sentra pengembangan jati hasil penelitian. Dengan demikian dapat direplikasi pola pengelolaan jati seperti koperasi hutan jaya lestari (KHJL).
Tidak kalah pentingnya perlunya perbaikan kelembagaan, pembagian peran dari stakeholder terkait seperti penelitian, kebijakan, penegakan hukum, dan pendamping (NGO). Selain itu perlu dibentuk tim kecil untuk menginisiasi road map pengembangan komoditi jati di Sultra, dengan penanggung jawab berada pada jurusan kehutanan Unhalu.
>>Ulfah Sari Sakti
Rumput Laut, Komoditi Sultra yang Terlupakan
BUKAN rahasia lagi jika rumput laut merupakan komoditi perikanan dan kelautan unggulan Sultra. Tidak mengherankan jika komoditi ini bakal ditetapkan sebagai komoditi inti pengembangan industri di Sulawesi Tenggara (Sultra), berdasarkan potensi komoditas yang dimiliki dan peluang pengembangannya. Data disperindag Sultra, potensi areal rumput laut di Sultra sekitar 196 ribu hektar dengan produksi basah kurang lebih 493 ribu ton setara dengan 66.300 ton produksi kering.
Kadisperindag Sultra, Saemu Alwi mengatakan pihaknya telah diundang Kementrian Perindang RI untuk mempresentasikan konsep peta panduan pengembangan rumput laut di Sultra beberapa waktu lalu. “Setelah kami presentasikan, kami akan memperbaiki kekurangannya sehingga akan kembali dikirim ke Kementreian. Dengan begitu diharapkan akan segera keluar keputusan Menteri Peridang RI, tentang penetapan Sultra untuk mengembangkan komoditi rumput laut sebagai inti dari pengembangan industri perikanan di Sultra,” kata Saemu.
Sebagai wujud kepedulian terhadap pegembangan rumput laut, beberapa waktu lalu di Aula BI Kendari YPSHK Green Network menghelat round table discussion (RTD), dengan tema mendukung terwujudnya rumput laut sebagai komoditi unggulan Sultra. Turut hadir fakultas perikanan dan ilmu kelautan (FPIK) Unhalu, instansi teknis dan NGO terkait, serta BI Kendari.
Dalam pemaparannya Pemimpin BI Kendari, Lawang Siagiaan mengakui jika potensi rumput laut Sultra sebagai komoditi unggulan perikanan dan kelautan Sultra, sangat potensial. Hasil penelitian potensi dan pengelolaan rumput laut kerja sama BI Kendari dengan Barisda Sultra pada 12 kabupaten / kota menujukkan pergerakan yang terus meningkat. “Pada 2009, produksi rumput laut meningkat 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan produksi terbesar rumput laut berada di Kabupaten Buton dan Muna. Tentunya jumlah tenaga kerja yang terserap juga cukup tinggi, yaitu mencapai 66.579 KK, yang jika dikelola secara optimal produksi dapat mencapai 335.320 ton kering atau setara dengan Rp 2 Triliun (asumsi harga Rp 6 ribu per kg),” beber Lawang.
“Pada 2009, produksi rumput laut meningkat 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan produksi terbesar rumput laut berada di Kabupaten Buton dan Muna. Tentunya jumlah tenaga kerja yang terserap juga cukup tinggi, yaitu mencapai 66.579 KK, yang jika dikelola secara optimal produksi dapat mencapai 335.320 ton kering atau setara dengan Rp 2 Triliun (asumsi harga Rp 6 ribu per kg),” beber Lawang.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan dari sisi persepsi perbankan terhadap dunia usaha sektor pertanian resiko produksi pada bisnis perikanan menyangkut siklus produksi perikanan yang musiman (tergantung cuaca dan iklim), sehingga hasilnya seringkali tidak dapat diperhitungkan dengan pasti. Resiko kontiunitas ketersediaan pupuk bibit pestisida dan teknik budidaya masih tinggi di samping resiko produksi yang tergantung musim terutama hasil perikanan tangkap, juga mengandung resiko harga yang tinggi. Tidak adanya kepastian harga dan sangat berfluktuatif menyebabkan pendapatan nelayan dan petani ikan tidak dapat diperkirakan dengan tepat.
RTD tersebut menghasilkan rekomendasi perlunya peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok koperasi, dan petani rumput laut, dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi kelompok tani rumput laut. Perguruan Tinggi (PT) harus berperan dalam melakukan kajian riset, sedangkan instansi teknis terkait perlu melakukan pendampingan teknis budidaya. Dengan begitu pembuatan dan pengembangan kebun rumput laut akan terwujud. Tidak kalah pentingnya perlu adanya lembaga intermedia dan sosialisasi intens melalui media massa. Disamping pemerintah dapat mengadakan anggaran dan badan pengelola untuk peningkatan produksi, dengan tetap melakukan pengawasan. Dari sisi kestabilan harga perlu adanya kesepakatan antara petani, pelaku usaha, perbankan dan pemerintah.
>>Ulfah Sari Sakti
Filed under: Kendari Pos (Wonua/Lingkungan) | Leave a comment »