Lingkungan 2009-12-26 Apakah Merkuri Berbahaya?

Kendari Pos, Lingkungan 2009-12-26/ Halaman 6

MERCURY, begitu orang kimia biasa menyebutnya, air raksa mungkin istilah yang lebih dikenal oleh banyak orang untuk unsur Hg. Mercury diantara unsur-unsur yang sampai saat ini telah dikenal sekitar 110 unsur, merupakan satu satunya logam yang pada suhu kamar berbentuk cair. Logam ini memiliki nomor atom 80 dan memiliki masa atom relatif sebesar 200.59, artinya sebanyak 602.000.000.000.000.000.000.000 buah atom beratnya 200,59 gram (banyak sekali ya?). Merkuri memiliki berat jenis 13,6 gram/ml, oleh karena itu merkuri tergolongan logam berat karena memiliki kerapatan lebih dari 5 gram/ml. Merkuri termasuk unsur yang relatif stabil karena tidak terlalu mudah rusak oleh air atau asam karena memiliki potensial reduksi yang rendah hampir mirip dengan perak.

Merkuri biasa dimanfaatkan orang dalam berbagai keperluan, meskipun dibeberapa industri kini sangat ditekan peredarannya karena bahaya yang ditimbulkannya. Dalam industri kecantikan saat ini masih ada industri yang menggunakannya, dalam industri kimia selain untuk membuat berbagai persenyawaan merkuri, dan juga banyak digunakan sebagai aliasi logam. Disamping itu masih banyak lagi industri yang memungkinkan menghasilkan limbah yang mengandung merkuri seperti industri cat, kertas, peralatan listrik atau pabrik soda kostik.

Dalam penambangan emas, merkuri masih digunakan secara tidak terkontrol. Usaha pertambangan emas biasanya dilakukan secara amalgamasi yaitu dengan menggunakan merkuri Hg sebagai media untuk mengikat emas dan menghasilkan limbah Hg, tembaga dan logam berat lainnya dari hasil pemurnian emas. Pada proses peleburan, emas dan perak dituang di air
agar terbentuk emas berupa kristalan. Emas yang berupa kristalan dimasak dengan penambahan asam klorida yang memungkinkan mengendap sedangkan tembaga dan perak dan ion lainya terlarut dalam air.  Limbah cair yang dihasilkan dibuang ke sungai sehingga berpotensial akan mencemari tanah dan air.

Logam berat seperti merkuri biasanya tergolong kedalam logam berbahaya bagi makhluk hidup, manusia, hewan maupun tumbuhan. Mengapa berbahaya ? karena sampai saat ini belum ditemukan kegunaannya dalam sistem metabolisme makhluk hidup, bahkan keberadaannya terasa sangat merugikan. Keracunan merkuri pertama kali dilaporkan terjadi di Minamata, Japan pada tahun 1953. Kontaminasi serupa yang cukup serius juga pernah diukur di sungai Surabaya, Indonesia tahun 1996. Hal yang sama juga dikabarkan terjadi di teluk buyat. Ion
merkuri biasanya dapat terakumulasi pada mahluk hidup dan terikat pada gugus –SH (sulfuhidril) dari enzym atau protein, yang mengakibatkan tidak berfungsinya sel inang.

Secara kimiawi merkuri memiliki tiga bentuk umum senyawa. Merkuri bervalensi 0, atau logam merkuri, sering disimbolkan Hg0, merkuri bervalensi satu, sering disimbolkan Hg+1, serta merkuri bervalensi 2 atau ditulis Hg2+.Setiap kelompok senyawa ini memiliki reaktifitas yang berbeda beda dalam melaksanakan reaksi, dan bereaksi di alam.

Keberadaan merkuri dilingkungan dapat berasal dari tanah atau batuan yang memang mengandung senyawa merkuri, atau dari bahan bahan yang masuk ke air atau tanah karena dengan sengaja atau tanpa sengaja, ataupun sebagai sampah hasil pakai bahan-bahan yang mengangdung merkuri. Seperti pecahan termometer, kosmetik yang memakai merkuri, penggunaan fungisida dalam bentuk alkylmerkuri (meskipun sudah dilarang) dll. Oleh karena itu lingkungan perairan, tanah dapat mengandung merkuri dalam bentuk yang bermacam macam, Hg0,
Hg+1 atau Hg2+.

Berbagai hasil penelitian dan observasi para ahli yang banyak bekerja dengan lingkungan menyatakan bahwa merkuri termasuk salah satu logam berat yang bersifat toxic paling potensial. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan berbagai akibat negatif yang ditimbulkan akibat terakumulasinyanya merkuri dalam jaringan. Mengingat seperti dijelaskan dimuka bahwa merkuri memiliki beberapa bentuk, bentuk merkuri manakah yang sebetulnya berbahaya ? Berbagai literatur menyatakan bahwa mertilmerkuri merupakan senyawa kimia nomor wahid
yang bersifat toxic. Secara kimiawi ditulis CH3Hg, senyawa ini tergolong dari merkuri Hg1. Tingkat bahaya berikutnya bila harus diurutkan tentulah senyawa-senyawa Hg2+ karena umumnya senyawa merkuri ini larut dalam air, meskipun ada yang tidak larut seperti “cinnabar”, HgS. Dan yang paling relatif aman tentulah Hg0 karena bersifat unsur tidak larut dalam air. Unsur ini relatif stabil diudara.

Merkuri yang terdapat dalam limbah perairan umum dapat diubah oleh aktifitas mikro organisme membentuk methyl merkuri, CH3-Hg yang memiliki sifat racun dan membebaskan senyawa
merkuri dari sedimen ke perairan. Ikan-ikan yang mati disekitar teluk Minamata mempunyai kadar methyl merkuri sebesar9 sampai 24 ppm.

Bilakah lingkungan perairan dikatakan tercemar merkuri? tentulah bila dalam perairan tersebut telah mengandung Hg melebihi batas yang dibolehkan. Menurut keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 907/menkes/sk/vii/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum, kandungan merkuri yang dibolehkan adalah 0,001 mg/liter,
ppm (part per milion), atau bisa juga disebut 1ppb (part per bilion). Bentuk merkuri yang dimaksud tentulah bukan Hg0 karena tidak larut dalam air, lalu Hg mana yang dimaksud oleh Depkes ? Hg+1 ? Hg2+ ? atau Hg total ? tidak ada penjelasan dalam SK tersebut. Mungkin Hg2+ karena bentuk senyawa itulah yang relatif stabil ada di lingkungan. Namun pembaca yang
budiman tentu akan mempertanyakan bentuk mana sebetulnya yang dimaksud, karena ketiga bentuk tadi memiliki efek toksitas yang berbeda terhadap mahluk hidup.

Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh air, tentu akan berbeda tergantung pada peruntukannya. Air keperluan untuk mandi dan mencuci, tentu akan lain pula dengan untuk irigasi. Persoalan juga akan menjadi runyam karena kurangnya pengetahuan kita, masyarakat biasa meminta analisa Hg dalam suatu sampel tanpa memberikan kadar/konsentrasi Hg mana yang harus diukur.  Karena untuk menentukan setiap bentuk Hg tentu memerlukan metoda analisa yang berbeda-beda pula.

Bilamana suatu wilayah perairan tercemar dengan merkuri, apakah masih bisa diremediasi ? bagaimana caranya ? Jawabnya tentu mungkin bisa, dan tentu akan bergantung pada bentuk polutannya, sebagai apa merkuri itu ada diwilayah tadi? Apakah Hg0 ? Hg+1 ? atau Hg2+ ? Kesulitan akan kita hadapi bila pollutan anorganik ini berada dalam air sebagai zat terlarut. Bila Lumpur bisa diendapkan dengan flok supaya mengendap, lain halnya dengan ion-ion ini. Ion dapat dipisahkan dengan cara diendapkan namun tentu dalam konsentrasi yang cukup besar,
bila dalam konsentrasi yang sangat rendah tentu harus difikirkan metoda lain yang tidak biasa untuk mengatasinya.

Polutan anorganik agak berbeda dengan pollutan organik seperti sampah organik, senyawa senyawa ini akan dapat terdegradasi dari satu bentuk senyawa menjadi bentuk senyawa lain oleh bakteri, mikroba atau enzim. Tetapi senyawa anorganik tidak dapat terdegradasi melainkan berubah bentuk senyawa. Oleh karena itu beberapa ahli menawarkan teknik merubah satu bentuk senyawa menjadi bentuk senyawa anorganik lain. Seperti dikemukakan Wagner Döbler, seorang pakar bioremediasi jerman “Clean-up of mercury-containing wastewater by mercury-resistant microbes is a simple, environmentally friendly and cost-effective alternative to current treatment technologies”. Mikroba memiliki kemampuan mekanisme mendetoksifikasi metal merkuri menjadi Hg2+ dan melalui reduksi intraselular sampai menjadi nontoxic Hg0. Perubahan ini terjadi oleh enzim merkuri reduktase yang diikuti dengan
difusi kehilangan Hg0 dari sel melalui phytovolatilization.

Metoda atau teknik lain yang juga masih dikerjakan para ahli dan nampaknya akhir akhir ini sedang trend adalah phytoremediasi. Teknik ini memanfaatkan tanaman sebagai penyerap ion ion terlarut dalam air maupun yang terakumulasi pada tanah.  Beberapa tanaman seperti red herbs, green herbs, pteris vittata, nicotiana tabacum, liriodendron tulipifera dan spienach
dilaporkan dapat menjadi penyerap ion mercury yang baik, namun tentu juga akan masih tetap bermasalah bila direklamasi dengan tanaman yang dikonsumsi manusia, karena akhirnya akan tetap terakumuasi pada hewan atau manusia, sehingga persoalan tetap belum terpecahkan.  Tanaman yang cocok tentu masih harus difikirkan seperti tanaman kayu-kayuan
yang menurut hasil penelitian kami justru mengakumulasi ion logam pada batang.  Apakah di Indonesia ada tanaman hiperakumulator (indigenous/native hyperaccumulator)?
Yang pastinya ada, tetapi di journal internasional (nasional?) sepanjang pengamatan saya belum pernah ada publikasi untuk itu.

Keberhasilan suatu remediasi baik itu “soil-“ atau “water remediation” biasanya dilihat dari modified distribution coefficient- Kmd, bioavailablity factor (BF), recalcitrant factor (RF), dan transfer factor (TF). Sebenarnya hanya ada dua faktor utama untuk membuat fitoremediasi bisa sukses di lapangan, yaitu: pertama, adanya ketersediaan tanaman hiperakumulator
yang cocok. Kedua, Adanya kerja sama yang baik antarbidang ilmu lain, misal ilmu tanah, kimia dan biologi tanah/soil scientist and microbiologist.

Adsorption menggunakan biomasa ataupun active cabon nampaknya juga merupakan teknik remediasi yang pantas difikirkan. Penggunaan active carbon sebagai adsorbent pada proses carbon in pulp atau CIP pada proses penambangan emas misalnya, telah mulai dikembangkan di awal 70-an. Proses ini adalah pelindihan batuan bijih emas melalui proses sianidasi kemudian partikel emas dalam larutan kaya emas tersebut diserap oleh pori-pori karbon untuk menghasilkan bullion emas. Kemampuan adsorbsi terhadap ion lain dari activated carbon ini
telah banyak pula dimanfaatkan orang.(*)

One Response

  1. Kl hg2+ bahaya buag muka g? Karena makeup yg saya pakai mengandung hg2+. Hg2+ itu sejenis mercury g sih?

Leave a comment